Ketika Penghina Agama Sombong Menantang Islam, Kita Malah Dipertontonkan Sandiwara Pemimpin yang Kaku Lidah & Kakinya
Negeri Para Tersangka
Oleh Vier A. Leventa*
“Ini adalah masa ketika badut dijadikan pimpinan dan hipokrasi diangkat jadi pemuka”
Dewasa ini kita harus berani berkata jujur, bahwa fitnah besar tengah menimpa umat. Hari ini telah terang bagi kita, bahwa hukum hampir, jika tak mau dikatakan musnah, hilang dari kamus peradaban manusia nusantara. Yang tersisa hanyalah fakultas-fakultasnya saja, tersisa hanya makelar-makelarnya saja.
Keadilan telah tampak dipermainkan. Ketika seorang penghina agama begitu sombongnya menantang kita, didukung para jongos yang mengklaim dirinya pemuka, kita malah dipertontonkan sandiwara pemimpin yang begitu kaku lidah dan kakinya. Bahkan sembunyi saat rakyatnya datang meminta keadilan. Hukum diperlambat, keadilan dikebiri.
Si penista bukan hanya telah melecehkan ulama-ulama kita, seolah kebal hukum, ia pun tak tersentuh. Kasus korupsi lahan RS Sumber Waras, kasus pengadaan Bus Transjakarta, kasus reklamasi, penggusuran rakyat miskin, si penista begitu tak tersentuh!
Tapi di lain sisi, begitu cepat dan kerasnya hukum berjalan terhadap kelompok yang berseberangan dengan kekuasaan. Lihatlah saat ini, begitu kentara kita saksikan bagaimana rezim dengan segala peralatannya tengah mencipta stigma negatif terhadap Islam dan para ulamanya. Kriminalisasi sistematis menjerat para pejuang yang menuntut keadilan.
Barangkali memang terjadi di negeri kita, apa yang disebutkan oleh JF. Lyotard bahwa kekuasaan tak lebih daripada ajang permainan keadilan (justice game), hukum sebagai ajang permainan bahasa (language game), dan aturan main hukum dipermainkan (rules of play).
Tapi kita memang tak perlu heran, hanya butuh sedikit kepekaan. Sebab negeri ini memang negerinya para tersangka. Penista agama bukan satu-satunya tersangka yang harus dijatuhi hukuman. Tapi penguasa dan kroni-kroninya memang telah bersekutu, bekerja sama untuk membawa negeri ini pada kehancuran.
Dengan dalih pertumbuhan ekonomi mereka biarkan investor-investor asing untuk mengeruk kekayaan alam kita dari hulu hingga hilir. Blok Masela, Blok Natuna, dan sumber-sumber energi terbesar hampir kesemuanya terlepas dari tangan kita. Dengan dalih menjaga keamanan, menjaga ketertiban umum, mereka bungkam suara kita. Dengan media sebagai corong dan senjata, penguasa membolak-balik fakta, dan mencipta opini baru, kemudian berbalik menyerang kita, menyerang Agama kita, Islam.
Devide et impera bukan mitos tanpa akar sejarah. Politik adu domba itu kini muncul kembali ke permukaan, bukan lagi dihembuskan penjajah kolonial, tapi justru oleh mereka yang mengaku anak bangsa ini sendiri.
Mereka para penguasa, telah mencipta lingkaran kuat. Mereka tanam para antek dan merekayasa setiap peristiwa. Kini, mereka yang dulunya berteriak, “Hidup Reformasi!”, harus segera direformasi. Mereka yang dulu dengan entengnya berucap, “Berantas korupsi!”, kini beramai-ramai melakukannya. Mereka yang dengan lantang berteriak, “Jaga persatuan! Jaga kebinekaan”, nyatanya memperkeruh situasi, dan malah berproses memecah-belah.
Saat ini pesakitan ada di mana-mana. Menjadi terbuktilah apa yang di tulis oleh Nuku Sulaiman dalam pledoinya di tahun 1994, “…Indonesia yang dilegendakan sebagai ‘Zamrud Katulistiwa’ kian nampak sebagai tali darah yang merentang dari Aceh sampai Dili….”
Hanya darah itu kini, bukan saja sebentuk nyeri yang menetes, tapi telah merasuk kesakitan itu pada ummat negeri ini hingga ke tulang sumsumnya. Perilakunya, perkataannya, perasaannya, pikirannya benar-benar tengah terjajah.
Permasalahan kita bukan lagi satu-dua orang tersangka, tapi seluruh penguasa yang berkolaborasi dengan korporatokrasi Asing, Penjajah, Kekuatan kapitalis global yang tengah berebut kekuasaan di negeri ini, mencuri harta benda kita. Untuk kemudian menjadikan kita budaknya, bahkan jika perlu memusnahkan kita.
Mereka semua adalah tersangka, negeri ini telah dipenuhi para tersangka yang harus segera mendapat hukuman, sebab mereka telah menyalahi janji.
Orang-orang harus dibangunkan, kesaksian harus diberikan, agar kehidupan bisa terjaga. Mari kita bangunkan orang-orang yang sengaja dibuat tidur oleh penguasa, kawan. Bara ini harus dipelihara. Katakan pada mereka, bahwa situasi dalam bahaya. Para penyembah harta benda dan kuasa mencoba mendorong kita dalam jurang kenistaan.
*Vier A. Leventa, Ketua Divisi Kajian Strategis (Kastrat) Gerakan Mahasiswa Pembebasan Wilayah DIY
(republika)
Oleh Vier A. Leventa*
“Ini adalah masa ketika badut dijadikan pimpinan dan hipokrasi diangkat jadi pemuka”
Dewasa ini kita harus berani berkata jujur, bahwa fitnah besar tengah menimpa umat. Hari ini telah terang bagi kita, bahwa hukum hampir, jika tak mau dikatakan musnah, hilang dari kamus peradaban manusia nusantara. Yang tersisa hanyalah fakultas-fakultasnya saja, tersisa hanya makelar-makelarnya saja.
Keadilan telah tampak dipermainkan. Ketika seorang penghina agama begitu sombongnya menantang kita, didukung para jongos yang mengklaim dirinya pemuka, kita malah dipertontonkan sandiwara pemimpin yang begitu kaku lidah dan kakinya. Bahkan sembunyi saat rakyatnya datang meminta keadilan. Hukum diperlambat, keadilan dikebiri.
Si penista bukan hanya telah melecehkan ulama-ulama kita, seolah kebal hukum, ia pun tak tersentuh. Kasus korupsi lahan RS Sumber Waras, kasus pengadaan Bus Transjakarta, kasus reklamasi, penggusuran rakyat miskin, si penista begitu tak tersentuh!
Tapi di lain sisi, begitu cepat dan kerasnya hukum berjalan terhadap kelompok yang berseberangan dengan kekuasaan. Lihatlah saat ini, begitu kentara kita saksikan bagaimana rezim dengan segala peralatannya tengah mencipta stigma negatif terhadap Islam dan para ulamanya. Kriminalisasi sistematis menjerat para pejuang yang menuntut keadilan.
Barangkali memang terjadi di negeri kita, apa yang disebutkan oleh JF. Lyotard bahwa kekuasaan tak lebih daripada ajang permainan keadilan (justice game), hukum sebagai ajang permainan bahasa (language game), dan aturan main hukum dipermainkan (rules of play).
Tapi kita memang tak perlu heran, hanya butuh sedikit kepekaan. Sebab negeri ini memang negerinya para tersangka. Penista agama bukan satu-satunya tersangka yang harus dijatuhi hukuman. Tapi penguasa dan kroni-kroninya memang telah bersekutu, bekerja sama untuk membawa negeri ini pada kehancuran.
Dengan dalih pertumbuhan ekonomi mereka biarkan investor-investor asing untuk mengeruk kekayaan alam kita dari hulu hingga hilir. Blok Masela, Blok Natuna, dan sumber-sumber energi terbesar hampir kesemuanya terlepas dari tangan kita. Dengan dalih menjaga keamanan, menjaga ketertiban umum, mereka bungkam suara kita. Dengan media sebagai corong dan senjata, penguasa membolak-balik fakta, dan mencipta opini baru, kemudian berbalik menyerang kita, menyerang Agama kita, Islam.
Devide et impera bukan mitos tanpa akar sejarah. Politik adu domba itu kini muncul kembali ke permukaan, bukan lagi dihembuskan penjajah kolonial, tapi justru oleh mereka yang mengaku anak bangsa ini sendiri.
Mereka para penguasa, telah mencipta lingkaran kuat. Mereka tanam para antek dan merekayasa setiap peristiwa. Kini, mereka yang dulunya berteriak, “Hidup Reformasi!”, harus segera direformasi. Mereka yang dulu dengan entengnya berucap, “Berantas korupsi!”, kini beramai-ramai melakukannya. Mereka yang dengan lantang berteriak, “Jaga persatuan! Jaga kebinekaan”, nyatanya memperkeruh situasi, dan malah berproses memecah-belah.
Saat ini pesakitan ada di mana-mana. Menjadi terbuktilah apa yang di tulis oleh Nuku Sulaiman dalam pledoinya di tahun 1994, “…Indonesia yang dilegendakan sebagai ‘Zamrud Katulistiwa’ kian nampak sebagai tali darah yang merentang dari Aceh sampai Dili….”
Hanya darah itu kini, bukan saja sebentuk nyeri yang menetes, tapi telah merasuk kesakitan itu pada ummat negeri ini hingga ke tulang sumsumnya. Perilakunya, perkataannya, perasaannya, pikirannya benar-benar tengah terjajah.
Permasalahan kita bukan lagi satu-dua orang tersangka, tapi seluruh penguasa yang berkolaborasi dengan korporatokrasi Asing, Penjajah, Kekuatan kapitalis global yang tengah berebut kekuasaan di negeri ini, mencuri harta benda kita. Untuk kemudian menjadikan kita budaknya, bahkan jika perlu memusnahkan kita.
Mereka semua adalah tersangka, negeri ini telah dipenuhi para tersangka yang harus segera mendapat hukuman, sebab mereka telah menyalahi janji.
Orang-orang harus dibangunkan, kesaksian harus diberikan, agar kehidupan bisa terjaga. Mari kita bangunkan orang-orang yang sengaja dibuat tidur oleh penguasa, kawan. Bara ini harus dipelihara. Katakan pada mereka, bahwa situasi dalam bahaya. Para penyembah harta benda dan kuasa mencoba mendorong kita dalam jurang kenistaan.
*Vier A. Leventa, Ketua Divisi Kajian Strategis (Kastrat) Gerakan Mahasiswa Pembebasan Wilayah DIY
(republika)
0 komentar:
Posting Komentar